Senin, 26 November 2012

ANALISIS JURNAL (METODE RISET BISNIS)


A. Latar Belakang Masalah
Menghasilkan suatu produk dan jasa yang dapat dipasarkan dan dapat mencapai tujuan sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan, maka perusahaan tersebut harus beroperasi dengan cara mengkombinasikan antara sumber daya-sumber daya yang ada. Sumber daya tersebut bisa berupa modal, manusia, dan mesin. Apabila semua sumber daya tersebut dapat dikelola dengan baik maka akan dapat mempermudah perusahaan tersebut dalam mencapai tujuannya.
Menurut Ekowati (2009) salah satu peran yang dimainkan departemen sumberdaya manusia dalam mencapai tujuan tersebut adalah “ employee champion “, dimana para manajer sumber daya manusia melakukan pengelolaan kontribusi bagi karyawannya. Dalam paradigma yang memandang sumber daya manusia sebagai modal intelektual organisasi, departemen sumber daya manusia memiliki peran yang sangat penting dalam membangun dan meningkatkan nilai sumber daya manusia. Manajer sumber daya manusia perlu mengembangkan program yang mampu mengkaitkan kontribusi karyawan dengan kesuksesan organisasi. Untuk itu perlu diciptakan integrasi yang kuat antara karyawan dan organisasi.
Menurut Paul F. Buller (dalam Ekowati, 2009) dikatakan bahwa kesuksesan organisasi dapat dilihat melalui partnership yang baik antara sumber daya manusia dan perencanaan strategis yang dilakukan oleh organisasi. Implikasi peran departemen sumber daya manusia sebagai pejuang karyawan dapat ditunjukkan dengan menciptakan kualitas kehidupan kerja yang mendorong karyawan memaksimalkan kontribusinya pada pencapaian sasaran organisasi. Hal ini dilakukan dengan membangun berbagai praktik pengelolaan yang memberikan kesempatan pengembangan secara adil bagi setiap individu yang bekerja. Adapun efektivitas dari program ini yaitu mampu mengurangi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian organisasi saat ini.
Akan tetapi, dalam prakteknya belum banyak perusahaan menerapkan kualitas kehidupan kerja karyawan sebagai salah satu misinya dalam mengembangkan sumber daya. Pihak manajemen masih lebih memperhatikan kepentingan dalam pencapaian tujuan perusahaan dibandingkan kepentingan karyawan (Kossen, 1986). Pada prinsipnya kualitas kehidupan kerja karyawan perlu diciptakan oleh organisasi untuk memberikan keseimbangan pada karyawan dalam melaksanakan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Program kualitas kehidupan kerja karyawan ini dilakukan karena beberapa alasan yaitu organisasi memiliki tujuan untuk memikat, memotivasi dan mempertahankan karyawan yang memiliki kompetensi sesuai harapan.
Kualitas kehidupan kerja merupakan terminologi yang digunakan untuk merefleksikan perasaan pekerja terhadap hubungan antara pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Menurut Jewell dan Siegel (1998) lingkungan kerja yang mendukung dapat meningkatkan kinerja karyawan. Lingkungan kerja yang kondusif tersebut antara lain suasana kerja yang nyaman dan hubungan atasan dan bawahan yang baik. Selain lingkungan yang kondusif, ada berbagai macam komponen dari kesejahteraan karyawan juga yang secara umum sangat penting diperhatikan yaitu lingkungan kerja yang aman dan sehat, hubungan yang baik dengan supervisor, dukungan dan persahabatan rekan sekerja, kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu, derajat kepuasan dengan situasi kerja dan kesempatan untuk bertumbuh dan pengembangan diri jika diperlukan. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan hasil interaksi individu, pekerjaan, organisasi global dan multidimensi ini adalah kualitas kehidupan kerja.
Kualitas kehidupan kerja merupakan tingkat kepuasan, motivasi, keterlibatan, dan pengalaman komitmen perseorangan mengenai kehidupan mereka dalam bekerja. Dimana filosofi ini bertujuan meningkatkan martabat karyawan, memperkenalkan perubahan budaya, memberikan kesempatan pertumbuhan dan pengembangan (Gibson dalam Ekowati, 2009). Menrut Lau & May (1998) kualitas kehidupan kerja didefinisikan sebagai strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Sedangkan menurut Walton (dalam Kossen, 1986) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja sebagai persepsi karyawan terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka.
Suasana pekerjaan yang dimaksudkan adalah berdasarkan kepada delapan aspek, yaitu kompensasi yang mencukupi dan adil, kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia, peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan, integrasi sosial dalam organisasi pekerjaan, hak-hak karyawan, pekerja dan ruang hidup secara keseluruhan, dan tanggung jawab sosial organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya suatu penghargaan kepada sumber daya manusia di lingkungan kerja (Luthan dalam Ekowati, 2009). Sehingga penghargaan yang diberikan oleh perusahaan tersebut akan membentuk persepsi karyawan menjadi lebih baik terhadap rasa aman, rasa puas, dan kesempatan untuk bertumbuh di dalam pekerjaannya (Wayne dalam Ekowati, 2009).
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) menetapkan bahwa ”Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Menurut Dr. Muznni Tambusai (dalam Tjandra, 2002), maksud dari pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan karyawan berada dalam kondisi selamat dan sehat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Data menunjukkan bahwa kasus kecelakaan kerja yang mengalami kenaikan yang terjadi di Jakarta, sejak 2003 sampai triwulan pertama 2004 tercatat terjadi 20.937 kasus kecelakaan kerja, atau 49 kasus perhari. Dari jumlah itu, 5 korban di antaranya meninggal dunia. Namun sampai Agustus 2004, jumlah kecelakaan kerja menggelembung hingga 86.880 kasus, atau 143 kasus perhari. (Suara Merdeka, 30 Nov 2005. hal 5). Menurut perkiraan ILO (2004), setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari jumlah ini, 354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja.
Awal tahun 2007, angka kecelakaan kerja di Indonesia menempati peringkat 52 dari 53 negara di dunia. Data 2007 menyatakan, jumlah kecelakaan kerja sebanyak 65.474 kasus dengan meninggal 1.451 orang, cacat tetap 5.326 orang dan sembuh tanpa cacat 58.697 orang. Tingkat pelanggaran peraturan perundangan ketenagakerjaan tahun 2007 sebanyak 21.386 pelanggaran (http://koranindonesia.com/2008/04/01/65474-kecelakaan-kerja-terjadi-sepanjang -2007/). Menurut data PT Jamsostek, pekerja yang meninggal dunia karena kecelakaan pada tahun 2008 mencapai 2.124 orang. Jumlah pekerja yang meninggal itu merupakan peningkatan dari tahun 2007 yang mencapai 1.883 orang dan pada tahun 2006 sebanyak 1.597 orang. Sedangkan pada tahun 2005 mencapai 2.045 orang. Sementara angka kasus kecelakaannya tertinggi dalam empat tahun terakhir, yakni 99.023 pekerja. Kasus kecelakaan kerja pada tahun 2008 sebanyak 93.823 orang, dengan jumlah pekerja yang sembuh 85.090 orang, sedangkan yang cacat total 44 orang. Selain itu, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), sepanjang tahun 2009 telah terjadi sebanyak 54.398 kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Angka tersebut menurun sejak 2007 yang sempat mencapai 83.714 kasus dan pada 2008 sebanyak 58.600 kasus.
Meskipun angka kasus kecelakan kerja terus menurun hingga tahun 2009, namun fakta ini menunjukkan bahwa resiko pekerja atau individu dalam melakukan tugas mereka “terancam” keselamatan dan kesehatannya. Mengamati data kecelakaan di atas terlihat bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada karyawan belum berjalan dengan baik. Jurnal Psikologi tahun 2001menyatakan bahwa dengan terjaminnya K3 oleh perusahaan maka ini akan menciptakan rasa nyaman dan rasa memiliki (sense of belonging) di perusahaan tersebut. Silalahi (1995) mengatakan bahwa program K3 selain untuk mengurangi dan mencegah kecelakaan serta penyakit akibat kerja, juga bertujuan untuk menciptakan kondisi kerja yang aman dan sehat. Kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat ini tergolong dalam beberapa aspek pada kualitas kehidupan kerja, dimana individu tidak ditempatkan kepada keadaan yang dapat membahayakan fisik dan kesehatan mereka, waktu kerja mereka juga sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Begitu juga umur adalah sesuai dengan tugas yang dipertanggungjawabkan kepada mereka (Walton dalam Kossen, 1986). Oleh karena itu, aspek ini harus menjadi perhatian bagi setiap perusahaan agar meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Ditinjau dari segi keilmuan, K3 dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya guna mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang disebabkan oleh pekerja di lingkungan kerja (Manulang, 1990).
Suma’mur (1993) mengatakan kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya baik fisik, mental, maupun sosial, dengan usaha preventif dan kuratif terhadap penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungankerja serta terhadap penyakit umum. Sedangkan keselamatan kerja bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja, dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan, dengan kata lain keselamatan adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan atau mengontrol resiko yang tidak bisa diterima.
Hal utama yang membuat karyawan tidak nemerima resiko dalam pekerjaannya adalah tingkat bahaya yang akan diterima oleh karyawan tersebut, karena bahaya merupakan suatu keadaan yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan dan kerugian. Menurut Setyawati & Djati (2008) secara umum terdapat dua golongan penyebab kecelakaan yaitu (1) tindakan atau perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe human acts) dan (2) keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya kecelakaan kerja yaitu antara 80-85% (Suma’mur, 1993). Salah satu faktor penyebab utama kecelakaan kerja yang disebabkan oleh manusia adalah stress dan kelelahan (fatigue). Kelelahan kerja memberi kontribusi 50% terhadap terjadinya kecelakaan kerja (Setyawati, 2007).
Menurut Nurmianto (2005), kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Maka dari itu, perusahaan harus lebih berhati-hati akan terjadinya kelelahan bagi karyawan. Kata kelelahan (fatigue) menunjukkan keadaan yang berbeda–beda, tetapi semuanya berakibat kepada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh (Suma’mur, 1996). Kelelahan juga merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga terjadilah pemulihan (Grandjen, 1988).
ILO (2003) mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja antara lain adanya monotoni pekerjaan; adanya intensitas dan durasi kerja mental serta fisik yang tidak proporsional; faktor lingkungan kerja, cuaca dan kebisingan; faktor mental seperti tanggung jawab, ketegangan dan adanya konflik-konflik; serta adanya penyakit-penyakit, kesakitan dan nutrisi yang tidak memadai. Sedangkan Grandjen (1988) mengatakan kelelahan kerja dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan otot (muscular fatigue) dan kelelahan umum (general fatigue). Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, segalanya terasa berat dan merasa “ngantuk”. Kelelahan umum biasanya ditandai berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni, intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan dirumah, sebab- sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi.
Sesuai penjelasan di atas Budiono, dkk (2003) mengatakan bahwa kelelahan merupakan suatu perasaan yang bersifat subyektif sehingga mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan. Perasaan yang bersifat subyektif merupakan suatu perasaan (psikis) yang tidak dapat disamakan dengan gejala mengenal, pengamatan, fikiran dan sebagainya. Oleh sebab itu, perasaan erat hubungannya dengan pribadi seseorang, maka tanggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu tidak sama dengan tanggapan perasaan orang lain terhadap hal yang sama. Gejala perasaan tidak berdiri sendiri, melainkan bersangkut paut dengan gejala-gejala jiwa yang lain bahkan perasaan dengan keadaan tubuh juga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Ahmadi, 2003).
Hal ini dipertegas oleh Grandjen (1988) yang mengatakan bahwa kelelahan disebabkan oleh faktor fisik (fisiologis) dan tekanan mental (psikologis). Kelelahan fisiologis yaitu kelelahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan (fisik) ditempat kerja, antara lain: kebisingan, suhu. Sedangkan kelelahan psikologis disebabkan oleh faktor psikologis (konflik- konflik mental), monotoni pekerjaan, bekerja karena terpaksa, pekerjaan yang bertumpuk-tumpuk. Sedangkan menurut Suma’mur (1996), kelelahan yang disebabkan tekanan mental yaitu karena adanya perasaan lelah yang dialami oleh karyawan selama mereka bekerja. Keadaan dan perasaan lelah yang timbul dikarenakan adanya reaksi fungsional dari pusat kesadaran (cortex cerebri) yang atas pengaruh dua sistem antagonistic yaitu sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Apabila sistem penggerak lebih kuat dari sistem penghambat, maka keadaan orang tersebut ada dalam keadaan segar untuk bekerja. Sebaliknya, apabila sistem penghambat lebih kuat dari sistem penggerak maka orang akan mengalami kelelahan. Itulah sebabnya, seseorang yang sedang lelah dapat melakukan aktivasi secara tiba-tiba apabila mengalami sesuatu peristiwa yang tidak terduga (ketegangan emosi). Demikian juga kerja yang monoton bisa menimbulkan kelelahan walaupun beban kerjanya tidak seberapa. Hal ini disebabkan karena sistem penghambat lebih kuat dari pada sistem penggerak (Satalaksana, 1979). Jika hal ini terjadi maka para karyawan akan rentan mengalami kecelakaan di tempat kerja.
Wicken, et al. (2004) mengatakan bahwa gangguan tidur (sleep distruption) dapat menyebabkan kelelahan, yang antara lain dapat dipengaruhi oleh kekurangan waktu tidur dan gangguan pada circadian rhythms akibat jet lag atau shift kerja. Menurut Nurmianto (2005) kelelahan circadian yang disebabkan oleh irama kerja siang atau malam dapat mengakibatkan fungsi tubuh bervariasi baik pada manusia maupun hewan (berfluktuasi dalam perputaran 24 jam, yang disebut juga sebagai circadian rhythm). Circadian dalam fungsi tubuh menunjukkan peningkatan pada siang hari dan menurun pada malam hari, seperti suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, volume pernafasan, produksi adrenalin, kemampuan mental, ekskresi, dan kapasitas fisik (Grandjean, 1988). Fungsi tubuh yang mengalami gangguan dapat mempengaruhi perasaan seseorang. Hal ini dipertegas oleh Ahmadi (2003) bahwa respon-respon tubuh terhadap perasaan dapat terwujud dalam bentuk mimik wajah, pantomimik, dan gejala pada tubuh seperti denyut jantung bertambah cepat, muka pucat, dan lain sebagainya. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul berupa keluhan oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk kerja. Ini diakibatkan oleh menurunnya kinerja jasmani dan rohani yang dialami oleh karyawan (Budiono, dkk., 2003).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja pada shift malam memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja dibandingkan mereka yang bekerja pada shift normal (shift pagi). Sharpe (2007) menyatakan bahwa pekerja pada shift malam memiliki resiko 28% lebih tinggi mengalami cidera atau kecelakaan. Josling (dalam Nurmianto, 2005) dalam artikelnya yang berjudul ‘Shift Work and Ill-Health’ mempertegas anggapan tersebut dengan menyebutkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The Circadian Learning Center di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa para karyawan shift, terutama yang bekerja di malam hari, dapat terkena beberapa permasalah kesehatan, antara lain gangguan tidur, kelelahan, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan gastrointestinal. Segala gangguan kesehatan tersebut jika ditambah dengan tekanan stress yang besar dapat secara otomatis meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan pada para karyawan shift malam.
Cara mengatasi permasalahan ini, perusahaan harus merancang shift kerja dengan sedemikianrupa agar mengurangi terjadinya kecelakaan kerja pada karyawan. Biasanya perusahaan yang berjalan secara kontiniu yang menerapkan aturan shift kerja. Sistemshift merupakan suatu sistem pengaturan kerja yang memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan (Muchinsky, 1997). Sedangkan menurut Landy (dalam Muchinsky, 1997), jadwal kerja shiftadalah adanya pengalihan tugas atau pekerjaan dari satu kelompok karyawan pada kelompok karyawan yang lain. Pigors dan Myers (dalam Aamodt, 1991), mengatakan shift kerja adalah suatu alternatif untuk memperpanjang jam kerja bagi kehadiran karyawan bila itu dibutuhkan untuk meningkatkan hasil produksi.
Kesimpulan dari beberapa definisi di atas adalah, bahwa shift kerja merupakan sistem pengaturan waktu kerja yang memungkinkan karyawan berpindah dari satu waktu ke waktu yang lain setelah periode tertentu, yaitu dengan cara bergantian antara kelompok kerja satu dengan kelompok kerja yang lain sehingga memberi peluang untuk memanfaatkan keseluruhan waktu yang tersedia untuk mengoperasikan pekerjaan.
Pelaksanaan dari shift itu sendiri adalah dengan cara bergantian, yakni karyawan pada periode terntentu bergantian dengan karyawan pada periode berikutnya untuk melakukan pekerjaan yang sama. Karyawan yang bekerja pada waktu normal digunakan istilah diurnal, yaitu individu atau karyawan yang selalu aktif pada waktu siang hari atau setiap hari. Sedangkan karyawan yang bekerja pada waktu malam hari digunakan istilah nocturnal, yaitu individu atau karyawan yang bekerja atau aktif pada malam hari dan istirahat pada siang hari (Riggio, 1990).
Menurut Pribadi (dalam Nurmianto, 2005) adapun hal yang harus diperhatikan dan diingat dalam merancang shift kerja. Hal-hal tersebut diantaranya adalah waktu berkurangnya tidur atau istirahat hendaknya ditekan sekecil mungkin sehingga dapat meminimumkan kelelahan, serta mempertimbangkan penyediaan waktu sebanyak mungkin untuk kehidupan keluarga dan kontak sosial. Hal ini kembali menegaskan bahwa shift kerja yang kurang efektif dapat menyebabkan kelelahan bagi karyawan. Pada penelitian Lientje Setyawati Maurits dan Imam Djati Widodo yang berjudul ‘Faktor dan Penjadwalan Shift Kerja’, mengatakan bahwa kecelakaan dan kesehatan kerja selalu akan berhubungan dengan kelelahan, shift dan waktu kerja.
Dari banyaknya akibat negatif dari shift kerja, khususnya shift di malam hari, maka berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, penelitian ini akan melihat perbedaan antara shift pagi dan malam terhadap kelelahan pada karyawan di perusahaan produksi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti merumuskan permasalahan yang ingin diketahui dari penelitian ini yaitu, apakah ada perbedaan kelelahan (fatigue) antara shift pagi dan shift malam pada karyawan di perusahaan produksi?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kelelahan (fatigue) antara shift pagi dan malam pada karyawan di perusahaan produksi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi terutama dalam bidang Quality of Work Life mengenai pengaruh shift work terhadap kelelahan (fatigue) pada karyawan di perusahaan produksi.
b) Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin meneliti mengenaiQuality of Work Life sebagai referensi teoritis dan empiris.
c) Alat ukur yang digunakan dalam penelitian diharapkan dapat menambah teknik pengukuran konsep kelelahan (fatigue).
2. Manfaat Praktis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan shift pagi dan malam terhadap kelelahan (fatigue), sehingga hal ini dapat menjadi informasi baru bagi para pekerja di Indonesia tentang bahaya shift work bagi kelelahan mental pekerja.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi baru bagi perusahaan, khususnya dalam melakukan perancangan Quality of Work Life pada karyawan.
c)  Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan agar lebih memperhatikan HigenePerusahaan dan Kesehatan Kerja bagi karyawan, dan diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini maka terbentuklah suatu kebijakan baru bagi permasalahan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar